MEMAHAMI KEBUDAYAAN
Kebudayaan
atau culture adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan
oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Ruth Benedict melihat kebudayaan
sebagai pola pikir dan berbuat yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia
dan yang membedakannya dengan kelompok lain. Para
ahli umumnya sepakat bahwa kebudayaan adalah perilaku dan penyesuaian diri
manusia berdasarkan hal-hal yang dipelajari/learning behavior (Sajidiman, dalam
“Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ;1999).
Kebudayaan
sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya adalah buah adab
(keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat tertib, indah
berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan sebagainya. Sifat
kebudayaan menjadi tanda dan ukuran tentang rendah-tingginya keadaban dari
masing-masing bangsa (Dewantara; 1994).
Kebudayaan
dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya:
- Hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adapt-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan.
- Angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan.
- Kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah (Dewantara; 1994).
Ki
Hajar Dewantara mendefinisikan kebudayaan sebagai kemenangan atau hasil
perjuangan hidup, yakni perjuangannya terhadap 2 kekuatan yang kuat dan abadi,
alam dan zaman. Kebudayaan tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi
terus menerus berganti-gantinya alam dan zaman. (Dewantara; 1994).
KEBUDAYAAN NASIONAL
Kebudayaan
Nasional Indonesia adalah segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang
bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun yang ciptaan baru, yang
berjiwa nasional (Dewantara; 1994).
Kebudayaan
Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam
wilayah Republik Indonesia.
Tanpa budaya-budaya itu tak ada Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti
Kebudayaan Nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero
Nusantara. Kebudayan Nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional
merupakan realitas. Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak
budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional
dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia
(Suseno; 1992).
Dalam
pasal 32 UUD 1945 dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan
lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah
di seluruh Indonesia,
terhitung sebagai Kebudayaan Bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”
(Atmadja, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
AKAR KEBUDAYAAN INDONESIA
Berikut
ini akan penulis kutipkan mengenai sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dari
tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato kebudayaannya yang berjudul
“Situasi Akar Budaya Kita”.
Nenek
moyang kita adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di
zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari layar
sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah
Balkan sekitar laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan
di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan.
Arus
selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di
sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang
berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan itu adalah
orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton,
yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa.
Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.
Nenek
moyang orang Indonesia
yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah Dongson ini telah
mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang dekoratif. Dari
pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima, dan mencernakan
seni ornamentik pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam
ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara
hiasan tenun Indonesia
dan Balkan umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian. Jaap Kunst, seorang
ahli musik, juga ahli musik Indonesia
mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan nyanyian
rakyat di bagian timur Yugoslavia
(Balkan). Kebudayaan Dongson menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan
dengan budaya Eropa dibanding budaya Cina.
Nenek
moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai
Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman perunggu dan
zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam penggalian
situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan bersama-sama. Hulu
pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk hulu
pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di
Kauskasus.
Tetapi,
sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok manusia
lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir, kurang lebih 15.000
tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan bahwa sebagian besar
Nusantara bagian barat menyatu dengan daratan Asia Tenggara, Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan wilayah yang kini laut Jawa. Ketika es berakhir, permukaan laut
naik kembali, dan terbentuklah gugusan pulau-pulau seperti yang kita kenal
kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada perkembangan manusia
Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang kurang lebih 1000 tahun
sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip tua Hebrew dari masa
akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah menyebut perdagangan
kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai timur Afrika.
Sebuah
naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang Melayu-Polinesia ke
belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan bahwa di masa mundurnya
Kerajaan Fira’un di Mesir, tempat yang bernama Aden, yang menguasai jalan masuk
ke laut Merah (yang masa itu merupakan tempat penduduk nelayan), telah direbut
oleh orang Qumr (Melayu-Polinesia) yang datang dengan armada yang terdiri dari
perahu-perahu yang memakai cadik. Mereka mengusir penduduk setempat, membangun
berbagai monumen dan memilihara hubungan langsung dengan pulau Madagaskar dan
Asia Tenggara. Para ahli sejarah menyebutkan
hal itu mungkin terjadi di masa Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup
lama orang Melayu-Polinesia menguasai pelayaran dan perdagangan lewat Samudera
Hindia dari Asia Tenggara ke pintu Laut Merah, sepanjang pantai timur Afrika
dan Pulau Madagaskar.
Dalam
melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke Madagaskar
dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat pulau itu.
Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa Madagaskar dan
bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini
berlayar jauh ke pedalaman pasifik, menetap di berbagai kepulauan, dan mereka
paling ke timur mencapai Easter Island, pulau terjauh ke timur dari Nusantara.
Jelaslah
bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke masa silam yang
begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita. Jelas pula bahwa
kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek moyang
kita telah memberi pula sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di seberang
Samudera Hindia, serta menciptakan berbagai budaya di Madagaskar, dan di
kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik.
Mengingat
ini kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari mereka, harus
merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya tidak! Kita
harus berani memeriksa diri secara cermat. Apa kekurangan-kekurangan kita kini,
hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk berbuat
yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?
Proses
melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi kurang lebih
3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal bersama dalam
komunitas-komunitas kecil dan mulai mengembangkan pertanian dan sistem pengairan.
Di zaman ini berkembang akar budaya musyawarah Indonesia, karena di kala itu belum
ada kepala dan raja, dan semuanya masih dimusyawarahkan oleh semua anggota
komunitas, dipimpin oleh orang-orang yang lebih tua. Wanita ikut bermusyawarah,
dan anak-anak boleh hadir dan ikut mendengar. Di suku Sakudei di pulau
Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia masih menemukan tradisi
musyawarah yang lama itu.
Akar
budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di bumi
memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat
melepaskan diri dari dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami bencana
dalam petualangannya di luar tubuh kita, yang dapat mengakibatkan yang punya
tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus berbaik-baik dalam hubungannya
dengan dunia roh ini.
Selanjutnya
nenek moyang kita di masa Megalitik itu memiliki konsep hubungan dan
pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam upacara-upacara khusus,
mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan melindungi ruh dari
bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi penghubung antara
yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan kekuatan-kekuatan magis
mereka yang membangun megalith-megalith tersebut, atau untuk siapa batu-batu itu
dibangun. Megalith-megalith dibangun untuk memperkuat kesuburan manusia, ternak
dan apa yang mereka tanam, dan dengan demikian memperbesar kekayaan
generasi-generasi yang akan datang.
Kebudayaan
Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang membawa teknologi
perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta daya cipta baru pada
kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan pula bahwa budaya Dongson
membawa teknologi bertanam padi di sawah. Teknologi padi sawah mendorong
komunitas-komunitas kecil untuk lebih berintegrasi mengembangkan dan memilihara
sistem pengairan, koordinasi bertanam serempak pada waktu yang sama. Dalam
proses sejarah, teknologi padi sawah ini telah mendorong proses integrasi
masyarakat-masyarakat desa Indonesia
yang hingga kini tumpuan kehidupan terbesar bangsa kita. Ia juga erat
hubungannya dengan irama iklim, datang musim kering dan musim hujan, yang
mempengaruhi pola kehidupan di Indonesia.
Musim panen merupakan musim perkawinan umpamanya.
Pemujaan
nenek moyang merupakan salah satu akar budaya bangsa Indonesia. Pandangan kosmik
mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan dunia atas tercermin dalam
organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu dan garis ayah,
hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil laki-laki dan perempuan
dari dua suku untuk perkawinan, membuat tiada satu suku lebih tinggi
kedudukannya dari yang lain. Setiap suku bergantian menduduki tempat yang
superior dan tempat di bawah. Struktur tradisi kesukuan ini merupakan sebuah mekanisme
ke arah demokrasi, yang seandainya kita pandai mengembangkannya dapat merupakan
kekuatan untuk tradisi demokrasi bangsa kita.
Datangnya
agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu datang orang Eropa
membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat pendidikan Barat
masuk pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi modern telah mendorong
berbagai proses kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan budaya, yang akhirnya
membawa manusia Indonesia pada keadaan hari ini.
Akar
budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa kita
sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di Indonesia
dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah hubungan
antara kekuasaan dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan Belanda
menggunakan sistem menguasai dan memerintah melalui kelas bangsawan atau feodal
lama Indonesia
telah meneruskan tradisi feodal berlangsung terus dalam masyarakat kita.
Malahan setelah Indonesia
merdeka, hubungan-hubungan diwarnai nilai-nilai feodalisme masih berlangsung
terus, hingga sering kita mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme
dalam bentuk-bentuk baru.
Semua
pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang datang dari
Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis
terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita,
oleh daya sinkritisme manusia Indonesia,
semuanya diterima dalam dirinya tanpa banyak konflik dalam jiwa dan diri kita.
Sesuatu
terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan yang satu
dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang bayangan, mana
yang kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata. Malahan banyak orang kini
membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam arti, orang percaya bahwa ilmu
dan teknologi dapat menyelesaikan semua masalah manusia di dunia. Dan ada yang
berbuat sebaliknya.
Kita
jadi tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal. Karena
itu beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-besaran,
dan tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya
Kita; 1999).
KEBUDAYAN BARAT DI INDONESIA
Proses
akulturasi di Indonesia
tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal,
dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada
dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity
enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur
kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan
tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi,
karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran
asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih
dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai
pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat
mempengaruhi masyarakat Indonesia,
lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah
kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional
yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas
tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat
Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama
kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis
Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan
tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan
wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh
semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan
Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan
simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan
kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan
teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil
sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas
fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan
modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan
teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan
Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai,
netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi
ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis,
Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan
para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau
kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok
bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari
kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut
sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam
lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan
kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah
saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan
supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di
lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi,
ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran
hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak
dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial,
semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan
Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil
teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak
menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan
semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan
kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi,
semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak
nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak
Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli,
bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan
demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita
kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme
berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi
menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya,
melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy
adalah modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita
keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern.
Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya,
bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat,
seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum
mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika
Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di
mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca
Cola.
Orang
yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan
demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti
bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera
estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya,
apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
SITUASI BUDAYA INDONESIA
Dalam
pemaparan tentang akar budaya di atas tadi telah kita ketahui bahwa nenek
moyang kita adalah nenek moyang yang tangguh dan bangsa ini telah mampu
melakukan akulturasi secara positif sehingga kita bisa mengintegrasikan
kebudayaan luar untuk meningkatkan budaya sendiri. Namun kita harus melihat
secara riil bagaimanakah keadaan budaya kita hari ini.
Sajiman
Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986 menyampaikan tentang
persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi
pada manusia Indonesia.
Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana
konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka
karena kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada
disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang
kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan karena
kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi peraturan dan
ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mnegeluarkan energi juga berakibat
pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan
mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan
tanggung jawab.
Menurut
beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan dari
keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya
harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building
(Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
Mochtar
Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986, menyampaikan
bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan oleh ciri:
1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.
2. Kemunafikan.
3. Lemahnya kreativitas.
4. Etos kerja brengsek.
5. Neo-Feodalisme.
6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).
1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.
2. Kemunafikan.
3. Lemahnya kreativitas.
4. Etos kerja brengsek.
5. Neo-Feodalisme.
6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).
TANTANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA
1. Kebudayaan Modern Tiruan
Tantangan
yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia
mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah
semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa
kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan
Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar
biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang
dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu
bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan
diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan
penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas.
Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita
sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan
(Suseno;1992)
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
Ki
Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam
mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi
manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan
gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja
tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi
yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat
mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan
membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini
bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan
berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
Pendidikan
masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin
dipandang dalam percaturan dunia. Ada
fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi
kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada
mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang
menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Problem
ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas
produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum
berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para
ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru.
Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan
terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar
ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.
5. Kondisi Alam Global
Beberapa
waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada
berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini, ’Pemanasan Global, Jutaan Orang
akan Teracam”. Pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi
kehidupan ratusan juta warga di dunia. Demikianlah antara lain isi laporan
kedua PBB yang sudah dipublikasikan tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti
ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan ketiga akan membeberkan tindakan
untuk menanganinya.
Laporan
para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)
dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak di berbagai belahan dunia, Selasa
(10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu ditulis dan dikaji 441 anggota
IPCC.
Salah
satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal
itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya
adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk
dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan
mengalami hal yang sama.
Laporan
itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa meningkatnya permukaan laut,
lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat.
Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di
kutub mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan
mengakibatkan terusan Panama
terbenam.
Naiknya
suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai yang
selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin
kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan
distribusi air secara alami ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam
pemanfaaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk.
Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah.
Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan
ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan,
setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius, antara lain akan menurunkan
produksi pertanian di Cina dan Bangladesh
hingga 30 persen hingga 2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es di
Pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga
pesisir di Asia pemukimannya tergenang karena
peningkatan permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga 3 milimeter
setiap tahun. Saat ini, pemanasan global sudah terasa dengan terjadinya
kematian dan punahnya spesies di Afrika dan Asia
(Kompas, Kamis 12 April 2007).
MENUJU PERADABAN INDONESIA
Untuk
membuat formulasi kebudayaan yang khas dan bisa menjawab tantangan zaman ke
depan bukanlah pekerjaan yang mudah. Perlu adanya suatu kebersamaan dan peran
serta setiap warga negara ini. Para pemikir
dan ilmuan harus bekerja secara keras untuk membuat suatu konsep yang jelas
dalam pencapaian ini.
Tujuan
nasional perjuangan bangsa Indonesia
adalah menciptakan masayarakat yang adil dan makmur. Perjuangan menuju peradaban
Indonesia
yang ideal membutuhkan waktu dan perjuangan. Pengakuan sebagai salah satu
peradaban dunia harus memiliki beberapa syarat. Syarat-syarat itu dapat kita
lihat dari perwujudan peradaban di dunia sejak permulaan sejarah manusia.
Nampaknya, kehidupan satu masyarakat diakui sebagai satu peradaban kalau
menunjukkan kehidupan lahiriah yang maju, dan kemajuan itu cukup menonjol dari
kehidupan lahiriah masyarakat lain (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya
Kita” ;1999).
Kehidupan
lahiriah yang maju itu merupakan hasil dari penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berlaku di zamannya. Bahkan dalam masyarakat itu terjadi
perkembangan berupa penemuan dan inovasi dalam iptek. Sebagai hasil penguasaan
iptek dapat dimajukan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Hal yang
sama berlaku bagi produksi di lautan dan kesejahteraan para nelayan dan pelaut.
Industrialisasi mengalami perkembangan yang tinggi dengan menghasilkan berbagi
macam barang yang disukai di dalam dan luar negeri. Berbagai prasaran, yaitu
penghasil energi listrik, aneka ragam komunikasi, keadaan jalan darat,
perhubungan darat, laut dan udara, semuanya dalam kondisi yang sesuai dengan
perkembangan iptek internasional mutakhir. Kesejahtreaan merata di antara
seluruh anggota masyarakat. Dan kalau ada rakyat yang miskin, maka itu
merupakan minoritas kecil. Ini memungkinkan rakyat menyekolahkan anak-anaknya
dengan baik, dan prasarana pendidikan tersedia dengan kualitas dan kuantitas
yang memadai. Standar hidup yang tinggi dalam masyarakat memungkinkan bagian
besar produksi pertanian dan isdustri dipasarkan dalam masyarakat sendiri,
sehingga ketergantungan pada masyarakat luar tidak terlampau besar (Sajidiman,
dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).
Kondisi
itu mendukung berkembangnya seni dan sastra yang kreatif. Berbagai kesenian
mengalami kemajuan dan dilakukan penduduk dalam jumlah besar. Kesusasteraan
menghasilkan buku dan hasil tulisan lain, yang banyak jumlahnya dan variasinya,
serta terbeli oleh mayoritas masyarakat. Arsitektur menghasilkan rumah-rumah
tempat tinggal, gedung-gedung pemerintahan, tempat-tempat ibadah yang indah,
tapi juga kokoh dan tahan lama (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya
Kita” ; 1999).
Kondisi
sosial cukup mantap dengan menunjukkan kehidupan keluarga yang sehat dan kokoh,
kurang adanya pengangguran dan tidak ada kelaparan. Mungkin krimanalitas tidak
dapat ditiadakan seratus persen, tetapi jumlah amat sedikit dan terkontrol.
Akan tetapi peradaban tidak hanya memerlukan kehidupan lahiriah yang maju dan
menonjol, juga perlu ada kehidupan rohaniah yang mantap dan merata (Sajidiman,
dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).
Kehidupan
beragama dilakukan oleh penduduk dengan penuh keimanan dan ketaqwaan. Dan
kerukunan antar berbagai agama berjalan baik. Orang tidak menjalankan ketentuan
agama hanya sebagai ritual belaka, tetapi mempunyai dampak nyata dalam
kehidupan yang bermoral dan disiplin tinggi. Maka ada kemampuan kendali diri
yang cukup kuat. Itulah yang turut menyemarakkan kehidupan demokrasi yang
mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam berbagai profesi, etik dijunjung tinggi
tanpa mengurangi dinamika yang diperlukan masyarakat pada zaman itu (Sajidiman,
dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).
Persatuan
bangsa terpelihara dengan baik, tanpa mengurangi hak dan kemampuan setiap unsur
bangsa mengembangkan dirinya secara lahiriah dan batiniah. Adanya prasarana
yang baik dalam berbagai bidang turut mendukung persatuan bangsa. Akan tetapi
yang lebih penting adalah kesadaran tentang hubungan harmonis antara bagian dan
keseluruhan (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita” ; 1999).
Hubungan
luar negeri dengan bangsa-bangsa lain diselenggarakan dengan baik untuk membina
perdamain dunia dan kesejahteraan umat manusia. Khususnya dengan lingkungan Asia
Tenggara ada hubungan erat dan harmonis. Terhadap bangsa-bangsa yang tergolong
miskin dan terbelakang dapat diadakan bantuan lahiriah dan batiniah yang
mengusahakan kemajuan mereka (Sajidiman, dalam “Pembebasan Budaya-Budaya Kita”
; 1999).
EPILOG
Dipahami
bahwa kebudayaan merupakan respon positif manusia terhadap situasi dan kondisi
yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, budaya merupakan manifestasi dari aspek
manusia yang multi-dimensional.
Segala
teori kebudayaan terlalu lamban untuk memahami keseharian manusia yang bergerak
cepat. Manusia tidak sekedar merajut makna lewat kerja,melainkan komunikasi
inter-subjektif dengan simbol-simbol. Manusia sehari-hari adalah manusia yang
bercakap, merenung dan mamaknai. Kebudayaan adalah festival kemajemukkan dimensi
manusia dan menolak segala bentuk reduksionisme. Manusia bukan semata-mata
makhluk ekonomi yang melulu berfokus pada bagaimana bertahan hidup. Ruang
refleksi yang tertutup oleh determinasi kerja dibukakan secara kultural.
Kebudayaan adalah lokus dimana manusia bukan sekedar pedagang dan pembeli,
melainkan makhluk multi-dimensi. Setiap dimensi dalam dirinya memiliki hak yang
sama untuk diutarakan ( Adian, dalam Kompas 14 April 2007;14)
Terkait
dengan formulasi kebudayaan Indonesia,
merupakan suatu keharusan kita untuk lebih menyelami karakteristik
manusia-manusia Indonesia
yang telah terbentuk sekian lama semenjak periode sebelum masehi. Dan juga
harus mempertimbangkan faktor alam yang melingkarinya. Sehingga, kita tidak
terpaku dan larut dalam arus kebudayaan global hari ini, yang belum tentu
sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Mudah-mudahan cita-cita menuju peradaban
Indonesia
yang maju bukanlah sekedar mimpi belaka!.
0 komentar:
Posting Komentar